Memahami pesatnya perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya, Pemerintah Indonesia baru saja melakukan revisi pada UU ITE. Revisi tersebut termaktub dalam perubahan Undang-undang No. 19 tahun 2016 mengenai perubahan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tujuannya, agar ruang lingkup UU ITE lebih luas dalam mengatur dan menertibkan teknologi informasi dan pemanfaatannya.
Salah satu yang menarik untuk diperhatikan adalah dari revisi UU ITE ini adalah ketentuan dalam pemanfaatan CCTV. Berawal dari permasalahan kata intersepsi atau penyadapan yang terlalu luas, mengambil gambar melalui CCTV dapat dikategorikan sebagai intersepsi.
Berikut penjelasan kata intersepsi di pasal 31 ayat 1 UU ITE:
“Intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengambil gambar melalui CCTV dapat dikategorikan sebagai melakukan intersepsi atau penyadapan karena pengambilan gambar merupakan perekaman yang bersifat pribadi. Namun dalam hal ini memang belum jelas apakah hal tersebut termasuk bersifat publik atau tidak.
Makna intersepsi ini berpengaruh pada Pasal 5 ayat 2 UUITE yang mengatakan bahwa:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia.”
Serta, penjelasanya sebagai berikut:
“Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.”
Dari penjelasan di atas, kekuatan pembuktian CCTV di pengadilan juga dapat dikatakan meragukan. Sebab, untuk menjadi alat bukti pengambilan gambar melalui CCTV yang dapat dianggap intersepsi tadi harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan otoritas yang berwenang.
Belum lagi, UU ITE juga melarang intersepsi tanpa hak atau melawan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UU ITE, bahwa:
“(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.”
Hukuman untuk pelanggaran Pasal 31 ayat 1 dan/atau 2 tersebut adalah sebagai berikut:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”
Selengkapnya dapat dibaca di Website Kompas melalui pranala berikut