Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi korban dalam jeratan pasal karet Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebagai bentuk perlawanan, keduanya mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Pasal-pasal yang diujikan antara lain Pasal 27 ayat (3) jp 45 ayat (3) UU ITE, Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Pasal-pasal ini yang selama ini sering kali dituduhkan mengganggu jalannya hak konstitusional warga negara dalam berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.
Setelah melalui proses panjang, MK akhirnya menyatakan bahwa Pasal 310 KUHP dan Pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946 inkonstitusional, sementara Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) tidak dipertimbangakan lebih lanjut karena kehilangan objek akibat revisi terbaru UU ITE pada awal tahun 2024. Meskipun begitu, putusan ini merupakan kemenangan bagi masyarakat sipil setelah banyaknya upaya advokasi melalui tekanan masyarakat, uji ke MK berkali-kali, dan proses revisi di legislatif di tengah kriminalisasi suara-suara yang sah menggunakan pasal pencemaran nama dan berita bohong.
MK mengamini, untuk kebebasan mengeluarkan pendapat terdapat pembatasan, akan tetapi pembatasan tersebut harus memastikan pelaksanaan hak berekspresi dan berpendapat sesuai dengan norma serta tidak mengandung diskriminasi, pelecehan, propaganda perang, atau melanggar norma HAM, bukan untuk membuat suatu kelompok tidak dapat menggunakan hak berpendapatnya.
Kasus Haris dan Fatia melawan Luhut Binsar Pandjaitan menjadi martil dalam memerangi ancaman kebebasan berekspresi di Indonesia. Dalam catatan SAFEnet, pada tahun 2023 saja sebanyak 126 orang dikriminalisasi karena ekspresinya dan pelapor didominasi oleh organisasi/institusi serta pejabat. Padahal, mengacu pada Prinsip Johannesburg tentang Keamanan Nasional, Kebebasan Berekspresi, dan Akses Informasi, disebutkan salah satunya pada Prinsip 7, tidak ada seorangpun dapat dihukum karena mengkritik atau menghina bangsa, negara atau simbol-simbolnya, pemerintah, badan-badannya, atau pejabat publik, atau bangsa, negara bagian atau simbol-simbolnya, dan pemerintah lembaga asing.
Pasal Berita Bohong dalam UU 1/1946 Rumusan yang Luas dan Tidak Jelas
Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam putusannya bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Republik Indonesia memiliki rumusan yang luas dan tidak jelas. Sehingga, dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam. Hal ini pun bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas kepastian hukum.
Pasal 14 ayat (1) dalam frasa “berita”, “pemberhentian” dan “bohong” tidak memiliki definisi pasti sehingga menimbulkan penafsiran yang subjektif bagi hakim. Pada pasal tersebut juga tertulis bahwa “dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat”. Keonaran dalam pasal ini bersifat tidak tunggal. Terdapat ketidakpastian unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat. Dalam hukum pidana, luasnya penafsiran melanggar asas lex certa yang berarti tidak multitafsir.
Dengan ketidakjelasan ini, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada. Sehingga, masyarakat tak lagi bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan.
Begitupun pada Pasal 15. MK menyatakan bahwa unsur “kabar yang tidak pasti, atau “kabar yang berlebihan” atau “yang tidak lengkap” dimana pada bagian penjelasannya adalah “kabar angin” sulit menemukan batasannya. Dapat dikatakan juga bahwa hal tersebut sama dengan “pemberitahuan bohong” sehingga menjadi tumpang tindih (overlapping). Pasal ini tidak menjelaskan bagaimana gradasi dan keakuratannya, padahal hukum pidana seharusnya tegas dan tanpa analogi.
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Sementara dalam Pasal 310 ayat (1) merupakan pasal pencemaran nama. Dalam rumusan pasal ini sangat subjektif dan tidak ada ukuran yang jelas dengan pencemaran kehormatan atau nama baik sehingga bertentangan dengan kepastian hukum yang adil.
Sanksi atas pembatasan yang dalam rangka menjamin hak orang lain sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28J seharusnya tidak semata-mata berupa sanksi pidana. Hal ini ditentukan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.
Dalam permohonan, Haris Azhar dan penggugat lainnya meminta majelis hakim untuk memutus pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun begitu, majelis memutus pasal ini inkonstitusional bersyarat karena tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan dengan menyatakan Pasal 310 tidak mengikat. Hal ini dikarenakan telah adanya perubahan yang dianggap MK telah mengakomodir gradasi pasal pencemaran nama dalam KUHP yang baru.
Masih Ada Ancaman Lain
Dengan dinyatakanannya pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka sudah seharusnya pasal-pasal serupa yang mengatur mengenai berita bohong dan pencemaran nama ditinjau ulang.
Indonesia masih memiliki KUHP dan UU ITE baru yang masih menjadi ancaman demokrasi. Meskipun sudah dibuat bergradasi, khususnya pada pasal pencemaran nama, seharusnya pasal defamasi ini bukan merupakan dalil pidana. Karena seketat apapun rumusannya, potensi untuk subjektivitas dan luasnya penerapan hakim masih ada dan hal tersebut tidak layak dipidanakan. Konteks perdata akan lebih menjamin kepastian dan juga ganti rugi yang jelas, terlebih umumnya kasus pencemaran nama adalah hubungan antar individu, bukan yang berdampak pada publik.
Pasal berita bohong juga masih jadi ancaman mengingat UU ITE baru masih mengakomodir pasal tersebut. Perlu ada dorongan dari masyarakat dan kemauan pemerintah untuk merevisi undang-undang ini agar selaras dengan UU lain seperti Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik dan memperhatikan instrumen HAM internasional.
Masyarakat sipil menang saat ini, namun masih harus terus gencar melakukan perlawanan dari jalur manapun untuk menuntut penjaminan hak asasi manusia sebagaimana yang telah dituangkan dalam konstitusi.