Kasus kriminalisasi yang menjerat dua aktivis pembela hak asasi manusia, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar telah sampai pada proses persidangan ke-28 dengan agenda tuntutan pada Senin (13/11/2023). Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana 4 tahun penjara untuk Haris Azhar dengan denda 1 juta rupiah subsider kurungan 6 bulan, sedangkan Fatia Maulidiyanti dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dengan denda 500.000 rupiah dengan subsider kurungan 3 bulan. Keduanya harus berhadapan dengan proses hukum sejak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), melaporkan keduanya dengan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena menyampaikan tentang dugaan kepemilikan saham LBP pada bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Di dalam siaran video atau podcast kanal nge-HAM-tam di YouTube berjudul “ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA‼ JENDERAL BIN JUGA ADA‼” yang dikelola Haris Azhar di Youtube keduanya menyitir hasil riset 9 lembaga “Kajian Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” (Lihat laporan KontraS atau WALHI) yang menemukan adanya konflik kepentingan LBP dan keterlibatan TNI pada gurita bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. KontraS yang saat itu dipimpin Fatia Maulidiyanti termasuk salah satu lembaga yang melakukan riset tersebut.
Kasus kriminalisasi ini merupakan ancaman serius terhadap kebenaran dan demokrasi serta menambah panjang daftar praktik kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia menggunakan Pasal Karet UU ITE. Tuntutan hukum terhadap Fatia dan Haris merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kritik. Tindakan atau kebijakan Negara ini akan menimbulkan efek gentar dan menyebarkan ketakutan yang dapat membuat masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapatnya, jelas-jelas tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan jauh dari standar HAM internasional.
Perlu diingat kembali bahwa hak atas kebebasan berekspresi telah dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999. Di sisi lain, sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia sudah seharusnya memenuhi komitmen untuk melindungi para pembela hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Pembela HAM yang disepakati melalui resolusi Sidang Umum PBB.
Amnesty International Indonesia mencatat bahwa setidaknya 1.021 pembela hak asasi manusia mengalami penuntutan, penangkapan, serangan, dan ancaman dari berbagai pihak pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Selama rentang waktu yang sama, 332 orang dituduh dengan UU ITE, sebagian besar dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Merespon situasi terakhir ini , Koalisi Serius Revisi UU ITE menyatakan bahwa kami:
- Memrotes keras tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi dan konvensi hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Tuntutan hukum pencemaran nama baik terhadap keduanya seharusnya tidak diterima karena sungguh berasal dari fakta penelitian terkait dengan informasi yang berasal dari riset dan laporan. Tuntutan hukum ini menunjukkan bahwa sekalipun kritik berbasis pada analisis dan fakta tetap dapat dihukum jika tidak sesuai dengan kepentingan kekuasaan.
- Mendorong agar proses penegakan hukum dilakukan secara adil, imparsial, dan transparan. Jaksa dan aparat penegak hukum harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan profesionalisme. Pernyataan yang merendahkan dan merusak proses peradilan tidak seharusnya menjadi bagian dari penegakan hukum yang berintegritas.
- Menuntut Hakim agar memutus bebas Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar untuk membela hak konstitusional warga yang melakukan kritik terhadap penyelenggaraan negara yang tidak memenuhi kaidah good governance dan sekaligus menjunjung nilai demokrasi.
- Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk merevisi UU ITE dengan menghapus duplikasi pasal KUHP, UU PDP, UU TPKS, mencabut pasal yang mengebiri demokrasi dan tidak proporsional, dan memperbaiki tata kelola internet yang tidak selaras dengan standar hukum internasional. Kasus ini mencerminkan permasalahan lebih besar terkait dengan UU ITE dan penyalahgunaannya.
Dalam menghadapi situasi ini, Koalisi Serius Revisi UU ITE mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Negara seharusnya melindungi, bukan membatasi, hak-hak warganya untuk menyuarakan pendapat dan berpartisipasi dalam pembangunan demokrasi.
Demikian pernyataan sikap ini disampaikan kepada masyarakat Indonesia. Mari bersama-sama kita menjadi penjaga dan penegak nilai-nilai demokrasi dan HAM di negeri ini.
Jakarta, 15 November 2023
Koalisi Serius Revisi UU ITE:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Amnesty International Indonesia Greenpeace Indonesia
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Imparsial
JALA PRT
Koalisi Perempuan Indonesia
Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB)
Makassar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta
LBH Jakarta
LBH Masyarakat
LBH Pers Jakarta
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist) Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE)
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI)
Protection International Indonesia
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI)
Remotivi Rumah Cemara
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)
Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)