Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ganjalan terbesar bagi demokrasi di Indonesia saat ini. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara/Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto.
SAFEnet mencatat sejak disahkan pada 2008 hingga 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait undang-undang ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah di Indonesia, yaitu 110 tersangka.
Pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan. Menurut Damar, kecil kemungkinan untuk bebas dari jerat undang-undang tersebut.
Data SAFEnet menyebutkan 38 persen pelapor UU ITE adalah pejabat publik, termasuk di dalamnya kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan. Disusul pelapor awam 29 persen, kalangan profesi 27 persen dan kalangan pengusaha 5 persen.
Sementara terlapor mayoritas adalah warga awam, jurnalis/media, aktivis, dosen/guru, hingga artis, budayawan dan penulis.
Pada 2016, UU ITE sempat direvisi. Terdapat tujuh poin materi yang diubah dalam beleid itu. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur pidana pada pasal tersebut mengacu ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang selama ini telah diatur dalam KUHP.
Revisi juga menurunkan ancaman pidana penjara, awalnya paling lama enam tahun menjadi empat tahun. Begitu pula penurunan denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
UU ITE juga sudah tujuh kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 27 ayat 3 adalah yang paling sering digugat oleh para pemohon. Namun gugatan terkait pasal itu selalu kandas.