Penyadapan merupakan upaya paksa yang bersifat khusus sebab berbeda dengan jenis-jenis upaya paksa lain seperti penggeledahan dan penyitaan, upaya paksa penyadapan memang tidak dilakukan secara fisik, terlihat, dan terasa namun intrusi atau penerobosan terhadap zona privasi seseorang tetap terjadi yakni melalui pengintaian secara rahasia (secret surveillance) terhadap komunikasinya.
Negara wajib menjamin perlindungan yang efektif data pribadi karena negara dan organisasi komersial berada dalam posisi yang mudah untuk mengeksploitasi data pribadi yang berakibat pada ancaman hak atas privasi individu. Penyadapan atau pengawasan rahasia (secret surveillance) pada pokoknya dapat dianggap serangan terhadap perlindungan hak atas privasi, oleh karenanya praktik tersebut harus diatur dengan Undang-Undang.
Setidaknya di Indonesia terdapat sembilan Undang-Undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada instansi penegak hukum dengan cara yang berbeda-beda, antara lain:
(i) Bab XXVII WvS tentang Kejahatan Jabatan, (ii) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
(iii) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(iv) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (v) Perpu Nomor 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
(vi) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
(vii)Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
(viii) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (ix) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Selain itu terdapat terdapat dua Peraturan Pemerintah dan satu Peraturan Menteri yang juga mengatur mengenai penyadapan yaitu:
(i) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(ii) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, dan
(iii) Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.
Pada Tahun 2008, Pemerintah juga menuangkan pengaturan mengenai penyadapan pada Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik. Pasal tersebut mengatur mengenai pelarangan intersepsi yang dilakukan dengan pengecualian apabila terdapat aparat penegak hukum sedang melakukan penegakkan hukum.
Pasal 31 UU Nomor Tahun 2008 (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang; (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
Pasal ini masih mengalami sejumlah penolakkan bersamaan dengan peraturan turunannya. Salah satu alasannya adalah perlunya unifikasi hukum mengenai aturan penyadapan dalam level undang-undang agar menjamin hak atas privasi dan menghindari perbuatan sewenang-wenang oleh otoritas tanpa adanya aturan yang mendalam.
Ketika diujikan ke Mahkamah Konstitusi, permohonan tersebut dikabulkan dan dinyatakan bahwa Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, dalam proses revisi Pasal ini dimunculkan kembali pada Tahun 2016 dengan rumusan sebagai berikut:
Pasal 31 UU Nomor 19 Tahun 2016
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.
Beragamnya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyadapan tersebut mengandung kelemahan, di mana prosedur penyadapan dalam satu Undang- Undang sangat mungkin berbeda dengan prosedur penyadapan dalam Undang-Undang yang lain. Demikian pula terhadap ketentuan penyadapan dalam satu peraturan, sangat dimungkinkan bertentangan atau tidak sejalan dengan peraturan yang lain. Ketiadaan aturan tunggal tentang hukum acara dan/atau tata cara penyadapan menyebabkan warga negara berpotensi terancam hak atas privasinya.
Berkaitan dengan pengaturan penyadapan, melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006, Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kembali pertimbangan hukum Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 yang menyatakan bahwa pembatasan melalui penyadapan harus diatur dengan Undang-Undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi.
Muncul kontroversi kembali pada pertengahan tahun inipun, kewenangan yang diberikan kepada kepolisian mengenai penyadapan diperbaharui dengan rumusan sebagai berikut
RUU POLRI
14 ayat (1) huruf o: “Melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan;”
Dalam catatan pasal-pasal “eksesif” yang diabuat oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian mengkritisi bahwa kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan. Seharusnya perlu ada pengaturan dan pengawasan yang jelas dan ketat untuk pembelian intrusive spyware.
ICJR dalam risetnya menuliskan setidaknya pada rumusan pengaturan tentang penyadapan, terdapat enam aspek yang perlu diperhatikan:
- Pemberian ijin penyadapan dapat diberikan termasuk mekanisme perpanjangannya harus dicantumkan secara spesifik dalam undang-undang
- Setidaknya dua hal berikut perlu menjadi pertimbangan dalam merumuskan persyaratan penyadapan, yakni (a) jenis-jenis tindak pidana; dan (b) kategori orang-orang yang berpotensi menjadi target penyadapan.
- Perlu ada pengaturan durasi penyadapan
- Mekanisme penyimpanan data hasil penyadapan setidaknya harus memuat: (a) tempat dan proses penyimpanan data yang diperoleh dari hasil penyadapan, (b) mekanisme perlindungan keaslian data selama penyimpanan tersebut, (c) kapan data tersebut harus dimusnahkan, (d) prosedur pemusnahan data hasil penyadapan.
- Perlu adanya mekanisme pengawasan dalam upaya paksa penyadapan.
- Perlu adanya mengenai mekanisme permohonan keberatan.
Sumber:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010
Iftitahsari, “Mengatur Ulang Penyadapan dalam Sistem Peradilan Pidana: Meninjau Praktik-Praktik Terbaik Pengaturan Penyadapan di Berbagai Negara” Jakarta: Institute Criminal Justice Reform, (2020)
Pasal-Pasal “Eksesif” dan Bermasalah di RUU Polri, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (2024)