LBH APIK Jakarta, ICJR, SAFEnet, Amnesty International Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Serius melakukan audiensi kepada Fraksi Nasdem. Audiensi tersebut dilakukan oleh Koalisi bertujuan agar revisi kedua UU Informasi Teknologi Informasi (UU ITE) tidak rentan mengkriminalkan banyak orang. Perwakilan yang hadir dari fraksi nasdem yakni Muhammad Farhan selaku anggota dari Komisi I DPR RI yang fokus membidangi isu-isu komunikasi dan informatika. Dalam kesempatan tersebut, Koalisi memaparkan problematika UU ITE secara norma maupun faktual di lapangan.
Seperti yang disoroti oleh LBH APIK Jakarta, bahwa banyaknya kasus KBGO UU ITE menjadi bermuka 2 (dua), dia bisa menjadi alat mengkriminalkan orang atau korban atau sekaligus menjadi alat pembungkam seseorang. Di banyak kasus, LBH Jakarta banyak memiliki hambatan ketika korban kasus KBGO hendak melaporkan kasusnya ke kepolisian. “Ini jadi persoalan karena minim perspektif dari APH, justru perkara pidana yang awalnya terjadi kepada korban malah bisa beralih menjadi pelaku tindak pidana elektronik sebagaimana Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 45 UU ITE,” tutur Husna selaku pengacara publik LBH APIK Jakarta.
Daerobi dari LBH APIK Jakarta turut menambahkan persoalan bagaimana tataran norma dan implementasi di lapangan berbanding terbalik, seperti dalam kurun tahun 2010 – 2021 terdapat 141 perempuan korban kekerasan dikriminalisasi dengan Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE. “UU ITE mengkriminalisasi mereka dalam proses pembelaan dari tindak pidana seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, serta eksploitasi seksual dan diskriminasi terhadap korban. Bahwa perlu diketahui kehadiran Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE sudah tidak relevan bagi para korban kekerasan seksual berbasis elektronik. Saat ini telah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dalam UU tersebut telah diatur adanya pencegahan, penindakan dan pemulihan kepada korban kekerasan seksual berbasis elektronik. Jadi UU ITE sudah tidak relevan lagi,” ucap Daerobi dalam penjelasannya.
Disamping situasi dan kondisi tersebut, koalisi masyarakat sipil juga mendesak pemerintah untuk membuka ruang diskusi yang memadai antara pemerintah dan masyarakat sipil terkait pembahasan revisi UU ITE. Selama ini, pemerintah telah tertutup dalam pembahasan revisi UU ITE yang dikhawatirkan menjadi sarana untuk mengakomodir kebutuhan pihak tertentu. Sebagai negara demokrasi, partisipasi publik merupakan hal krusial yang wajib dilakukan dalam pembentukan suatu tatanan regulasi.
Setelah parapan dari koalisi selesai, kemudian Fraksi Nasdem memaparkan beberapa hal, yang pada intinya fraksi nasdem menerima masukan dari teman-teman koalisi terkait revisi UU ITE yang mungkin akan dipelajari dan ditindaklanjuti sebelum pembahasan revisi UU ITE yang kedua disahkan. “Bahwa pembahasan kemungkinan akan dilakukan kembali bersama pemerintah, namun DPR masih menunggu jadwal pembahasan karena hingga saat ini juga belum ada Menteri Kominfo baru yang ditunjuk dari Pemerintah agar dapat melakukan pembahasan revisi kedua UU ITE tersebut,” ujar Farhan dalam tanggapanya.
Sebelum sesi berakhir, perwakilan Koalisi Serius juga menyampaikan beberapa pasal yang menjadi perhatian dalam Daftar Inventaris Masalah yang disusun oleh koalisi masyarakat sipil, diantaranya yaitu Pasal 26 Ayat (3) tentang penghapusan dokumen elektronik; Pasal 27 Ayat (1) dan (2) yang membahas tentang konten kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) dan (4) tentang pencemaran, pemerasan dan pengancaman; Pasal 28 ayat (1) dan 2 tentang berita bohong; Pasal 28A ayat (1) dan (2) tentang penyebaran permusuhan dan keonaran; Pasal 29 tentang melawan hukum; Pasal 40 ayat (2a) tentang blocking dan filtering konten; Pasal 40 ayat (2b) tentang pemutusan akses teknologi informasi; Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (2) tentang aturan pemidanaan. Seperti yang telah diketahui, revisi kedua terhadap UU ITE akan berdampak secara signifikan karena tetap memuat pasal – pasal bermasalah yang rentan mengkriminalisasi masyarakat. Oleh karenanya dengan melakukan revisi/menghapus pasal-pasal bermasalah menjadi solusi utama bahwa UU ITE dapat berpihak kepada kelompok rentan dan korban. (RB/TSA)