Revisi UU ITE

Catatan Singkat Draft Revisi Kedua UU ITE

Substansi Revisi Ke-2 UU ITE Alami Beberapa Perubahan Namun Masih Menyisakan Perdebatan

Pada 2021, Surpres revisi UU ITE yang dikirimkan pada Desember 2021 kepada DPR baru dibacakan pada November 2022. Setelah itu pun pembahasan tertunda dan proses pembahasan revisi UU ITE baru kembali mulai dilakukan oleh Komisi I dan Kemenkominfo sejak awal 2023. Pada 22 November 2023, perjalanan pembahasan revisi kedua UU ITE memasuki babak akhir dengan disepakatinya naskah revisi kedua UU ITE untuk dilanjutkan ke sidang paripurna melalui rapat kerja Komisi I DPR dengan Pemerintah. ICJR mencatat beberapa hal mengenai proses dan hasil pembahasan revisi kedua UU ITE ini.

Dari segi formil, hal yang paling disayangkan adalah rapat serta konsinyering pembahasan tim perumus dan tim panja mayoritas dilakukan secara tertutup dan hasil dari pembahasan termasuk naskah revisi sulit untuk dapat diakses oleh publik. Padahal, desakan untuk membuka proses pembahasan untuk diketahui publik terus menerus disuarakan sepanjang tahun ini. Keengganan Komisi I DPR dan Pemerintah untuk membuka pembahasan secara utuh tentunya memancing tanda tanya terlebih karena pasal-pasal yang dibahas merupakan pasal yang penting karena berkaitan dengan pembatasan hak dan tidak ada alasan mendesak untuk menutup rapat pembahasan.

Substansi Perubahan Masih Menyisakan Perdebatan

Dari segi substansi, terdapat beberapa pasal yang mengalami perubahan. Beberapa pasal tersebut misalnya, Pasal 27 ayat (1) tentang penyebaran konten melanggar kesusilaan, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, Pasal 27 ayat (4) tentang pemerasan dan pengancaman, Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang menimbulkan kerusuhan, serta Pasal 29 tentang perundungan. Selain pasal-pasal tersebut, terdapat juga perubahan dan penambahan pasal yang terdapat dalam Pasal 40 dan Pasal 16. Beberapa catatan dapat dilihat di bawah ini.

Pasal 27 (1) UU ITE tentang Kesusilaan

Pertama, Pasal 27 ayat (1) naskah revisi kedua UU ITE (RUU ITE) yang melarang penyebaran konten melanggar kesusilaan telah mengalami perubahan dengan ditambahkannya unsur pidana dan adanya limitasi pemidanaan. Limitasi yang diatur dalam Pasal 45 ayat (2) RUU ITE mengecualikan perbuatan yang dilakukan demi kepentingan umum, membela diri, maupun konten yang dibuat untuk tujuan pendidikan, kesehatan, budaya, dan olahraga.

Penambahan unsur lainnya adalah perbuatan ini harus dilakukan untuk “diketahui umum”. sama dengan adanya alasan pembenar “membela diri”, penambagan unsur ini diharapkan memperkuat posisi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang selama ini dapat dijerat dengan pidana ini dan aparat penegak hukum fokus pada orang yang melakukan penyebaran konten privat ke publik.

Namun, terdapat catatan dengan masih dimuatnya unsur “mentransmisikan” dalam unsur perbuatannya. Dalam implementasinya, aparat penegak hukum harus memastikan bahwa unsur mentransmisikan hanya dapat dipidana dalam hal pelaku bertujuan untuk konten tersebut diketahui umum, sebab jika tidak maka perbuatan mengirimkan informasi dan/atau dokumen elektronik dari satu orang ke satu orang lain masih dapat dikategorikan sebagai transmisi dan tentunya berpotensi kontradiktif dengan unsur “diketahui umum” yang juga terdapat dalam rumusan Pasal 27 ayat (1) naskah revisi kedua UU ITE. Selain itu, perumus masih menggunakan istilah “melanggar kesusilaan”. Unsur “melanggar kesusilaan” didefinisikan sebagai “perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.”, seharusnya seperti tujuan awal pasal ini, konten yang dimaksud harusnya dibatasi ke pornografi agar tidak membuka perdebatan perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai kesusilaan.

Pasal 27 (3) tentang Penghinaan Individu

Kedua, Pasal 27A RUU ITE kembali mengatur perbuatan menyerang kehormatan orang lain sebagaimana Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Rumusan pasal disesuaikan dengan Pasal 433 KUHP 2023 tentang pencemaran individu, artinya harus didasarkan pada tuduhan dan ditujukan untuk diketahui publik, komunikasi privat atau tertutup tidak dapat lagi dijerat dengan pidana ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah pasal ini berkaitan juga dengan Pasal 45 ayat (4) sampai dengan (7) yang mengatur pemidanaan tidak hanya untuk pencemaran nama baik tapi juga untuk fitnah, sehingga UU ITE hanya diterapkan untuk delik pencemaran dan Fitnah. Pasal 45 ayat (7) juga mengatur mengenai alasan pembenar yaitu terpaksa membela diri dan untuk kepentingan umum. Terdapat juga pengurangan ancaman pidana yaitu dari 4 tahun di UU ITE 2016 menjadi 2 tahun untuk delik pencemaran, sedangkan fitnah tetap di ancaman 4 tahun.

Pasal 28 (2) tentang Ujaran Kebencian

Catatan terpenting dalam pasal ini adalah penggunaan unsur “mentransmisikan” atau korespondensi individu ke individu yang kembali muncul dalam rumusan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Pasal ujaran kebencian seharusnya didasarkan pada Pasal 20 ayat (2) ICCPR dengan pembatasan-pembatasan yang telah dirumuskan dalam Prinsip Camden maupun Rabat Plan Action. Salah satu unsur penting dalam pasal ujaran kebencian adalah “di muka umum”. Unsur ini menjadi penting karena salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan ujaran kebencian yang dapat dipidana adalah potensi akibat yang nyata berupa diskriminasi, kekerasan, dan/atau permusuhan. Oleh karena itu, mengirimkan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dari dan ke satu pihak tidak selalu sesuai dengan unsur “di muka umum” yang seharusnya masuk ke dalam unsur pasal 28 ayat (2) naskah revisi kedua UU ITE.

Untuk menjamin agar pasal ujaran kebencian tidak disalahgunakan, perlu diperhatikan adanya perbaikan unsur dalam pasal ini yang mempertegas bahwa konten yang disebarkan harus bersifat menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. Tidak lagi boleh ada proses hukum atas dasar golongan yang tidak jelas seperti profesi, pejabat, tokoh politik, dan lainnya.

Pasal 28(3) tentang Berita Bohong

RUU ITE memasukkan Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang menimbulkan kerusuhan. Pasal ini bukan pasal baru mengingat terdapat Pasal 14 dan 15 UU Peraturan Pidana. Perbedaannya, Pasal 28 ayat (3) hanya memidanakan penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerusuhan yang dilakukan dengan sengaja. Namun, apabila RUU ITE disahkan sebelum KUHP berlaku maka berarti akan ada dua ketentuan pidana serupa tentang berita bohong yang diatur dalam dua UU berbeda. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan pada implementasi kedepannya. Meski begitu hal yang menjadi catatan adalah penggunaan pasal berita bohong tidak lagi dapat disandarkan pada perdebatan atau kerusuhan di dunia online melainkan harus bersifat fisik di dunia luar jaringan internet. Ke depan kerusuhan fisik ini juga perlu dipertegas bahwa ini adalah sebab akibat dari adanya perbuatan berita bohong bukan karena adanya kelompok yang sekedar tidak suka dan melakukan keributan sepihak.

Pasal pemerasan dan pengancaman

RUU ITE telah memisahkan pengaturan pasal pemerasan dan pengancaman dalam Pasal 27B ayat (1) dan (2). Masalahnya, terdapat ketentuan yang mirip dan berpotensi tumpang tindih dalam Pasal 29 RUU ITE yang mengatur tentang perundungan. Pasal 29 mengatur pemidanaan terhadap penyebaran konten pada korban yang berisi ancaman dan/atau menakut-nakuti. Definisi korban dalam penjelasan Pasal 29 RUU ITE adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana. Rumusan pasal dan penjelasan Pasal 29 RUU ITE ini dapat dikatakan juga telah diakomodasi oleh Pasal 27B RUU ITE.

Tata Kelola Internet dan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)

Selain pasal-pasal di atas, terdapat beberapa pasal yang menarik perhatian karena mengatur mengenai kekuasaan Pemerintah dan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dalam ruang digital. Pasal 16A ayat (1) dan (2) mengatur mengenai kewajiban bagi PSE untuk memberikan perlindungan bagi anak. Kewajiban PSE dalam memberikan perlindungan kepada anak merupakan kewajiban yang sudah sepatutnya diemban oleh PSE sebagai aktor privat yang memiliki tanggung jawab terhadap hak asasi manusia. Di lain sisi perlu diperhatikan bagaimana peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak, mengingat tanggung jawab hak asasi manusia merupakan kewajiban yang diemban oleh pemerintah dan aktor privat.

Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah penambahan Pasal 16A dan 16B serta perubahan Pasal 40 dan 40A RUU ITE. Pasal 16A ayat (3) dan (4) RUU ITE mengatur mengenai hal-hal yang harus disiapkan oleh PSE sebagai bentuk perlindungan bagi anak dalam mengakses internet. Ketentuan ini penting, karena pada pokoknya dapat menjadi pedoman umum bagi PSE dalam menjalankan sistem elektroniknya di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di lain sisi, PSE sebagai aktor privat memiliki mekanisme dan aturannya sendiri dalam mengatur sistem elektroniknya. Kedepannya, perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai mekanisme perlindungan anak antara pemerintah dan aktor privat. Jangan sampai, pemberian pembebanan kewajiban perlindungan kepada PSE ini justru menjadi self-regulation PSE tanpa adanya mekanisme checks and balances antara pemerintah dan PSE.

Selain itu, ketentuan Pasal 16B ayat (2) yang memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses PSE apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 16A perlu diperhatikan dari aspek kekuasaan. Mengingat perlu adanya checks and balances antara Pemerintah dan PSE, maka kewenangan pemerintah untuk memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses perlu dipertimbangkan kembali karena pemerintah terlihat memegang peranan yang besar terhadap aktor privat.

Hal ini juga dilegitimasi dengan Pasal 40 maupun Pasal 40A dimana pemerintah sebagai pemegang keputusan yang dapat memerintahkan PSE melakukan pemutusan akses, moderasi konten Informasi Elektronik/Dokumen Elektronik, penyesuaian Sistem Elektronik, dan/atau tindakan lain yang diperlukan. Artinya, ketentuan ini menunjukan terdapat model yang berbeda dalam tata kelola ruang digital. Dalam hal pelindungan anak, pemerintah mewajibkan PSE memberikan pelindungan, sehingga PSE dapat mengelola sistem elektroniknya berdasarkan standar yang ada. Sedangkan Pasal 40 ayat (2b), (2c), dan (2d) justru memberikan kekuasaan yang besar bagi pemerintah terhadap PSE dan terlihat memberlakukan PSE sebagai agen pemerintah.

Terkait pemutusan akses ini, hal yang penting diperhatikan oleh Pemerintah maupun PSE adalah bahwa konten yang dapat diputus aksesnya hanyalah konten-konten yang memang dilarang atau merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal ini penting mengingat pembatasan hak berekspresi dan berpendapat hanya boleh dilakukan melalui undang-undang. Ini berarti, Pasal 40 ayat (2c) harus dimaknai sebatas undang-undang dan tidak termasuk peraturan di bawah undang-undang. Bila diperlukan, peraturan di bawah UU dapat mengatur teknis menjalankan kewenangan Pemerintah dalam Pasal 40 dan Pasal 40A namun tidak boleh mendefinisikan kembali apa yang termasuk ke dalam konten yang harus dibatasi atau dilarang. Ketentuan ini sebaiknya diperjelas dalam satu pasal khusus.

Hal lain yang penting adalah melakukan pengawasan atas implementasi Pasal 40 RUU ITE. Untuk itu, diperlukan mekanisme izin pengadilan terlebih dahulu sebelum pemutusan akses dapat dilakukan. Mekanisme ini pun dapat berlaku bagi ketentuan Pasal 40A yang mengatur kewenangan Pemerintah untuk memerintahkan PSE melakukan penyesuaian Sistem Elektronik dan/atau tindakan tertentu. Dengan adanya izin pengadilan, tindakan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 40A dapat dijadikan sebagai objek praperadilan dan Pemerintah dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila ditemukan kesalahan dalam implementasinya. Penambahan pasal yang mengatur hal ini menjadi krusial untuk memastikan tidak ada konten yang melanggar UU lolos sekaligus memastikan tidak ada pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat yang terjadi.

Atas dasar catatan di atas dan dalam waktu yang sangat sempit menjelang rapat paripurna, ICJR menilai terdapat perubahan yang terjadi dalam UU ITE, beberapa perubahan baik namun tidak cukup baik untuk menjawab persoalan selama ini. Hal yang penting untuk antisipasi kedepannya adalah membangun pemahaman yang seragam dan berbasis perlindungan HAM oleh APH. Bagaimanapun juga, permasalahan yang diakibatkan oleh UU ITE selama kurang lebih 15 tahun tidak dapat selesai hanya dengan revisi peraturan tetapi juga harus dibarengi dengan perbaikan menyeluruh di berbagai sektor penegakan hukum lainnya.

Sumber:

Artikel lainnya :
  • August 8, 2017

Sudah Ada 205 Korban Terjerat UU ITE

Sejak lahirnya Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau...

  • December 5, 2023

DPR Sahkan Revisi UU ITE Sebagai Undang-Undang

DPR menggelar rapat paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun...

  • June 18, 2021

Revisi UU ITE, Pemerintah Siapkan Pasal Khusus Jerat Penyebar dan Pembuat Hoaks

Pemerintah tengah menggodok revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik...