Koalisi Serius mendesak DPR untuk merevisi total terhadap sejumlah pasal bermasalah dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi total tersebut tidak terbatas hanya pada 7 pasal pidana yang diajukan oleh Kominfo, melainkan pasal lainnya yang menjadi hambatan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Hal itu disampaikan oleh perwakilan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senin 27 Maret 2023. Koalisi Serius merupakan koalisi masyarakat sipil yang fokus mengawal revisi kedua UU ITE yang dibentuk 2021. Koalisi terdiri atas 26 organisasi masyarakat sipil seperti Safenet, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Southeast Asian Freedom of Expression Network, Amnesty International Indonesia, The Institute for Criminal Justice Reform, Aliansi Jurnalis Independen, LBH APIK, dan lainnya.
Wirya Adiwena dari Amnesty International Indonesia menyebutkan sejumlah masalah yang membuat revisi UU ITE membutuhkan kajian lebih mendalam terutama dalam perspektif pelindungan HAM, termasuk kebebasan berekspresi.
“Di tengah komitmen perubahan kedua revisi UU ITE, ada banyak proses legislasi yang terus mengalami perubahan. Adanya pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi bagian kecil bahwa UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (1) UU ITE sudah tidak relevan,” kata Wirya saat berbicara dalam RDPU.
Begitu pun kehadiran UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Pada akhir 2022, rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) turut juga disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru) dan ketentuan peralihan mengatur agar KUHP Baru ini mulai berlaku pada Januari 2026.
Koalisi masyarakat sipil menilai ada beberapa alasan penting untuk merevisi UU ITE. Pertama, ada situasi legislasi yang memberikan dampak serius yang perlu diperhatikan terhadap revisi kedua UU ITE, khususnya banyak pasal yang perlu diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, pentingnya memperhatikan substansi pengaturan informasi dan transaksi elektronik dalam alam demokrasi. Ketiga, perlunya pengaturan khusus agar tidak terjadinya upaya kriminalisasi terhadap korban.
“Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang keduanya mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo adalah bukti bahwa pemerintah dan DPR mengakui ada masalah dalam UU ITE. Karena itu, revisi kedua UU ITE ini adalah momentum untuk merevisi total pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE,” kata dia.
Terlebih, berdasarkan catatan kajian Koalisi, materi muatan yang diatur dalam UU ITE sepenuhnya mengabaikan beberapa aspek. Di antaranya tidak memenuhi asas legalitas hukum pidana; tidak menjangkau pengecualian untuk kondisi overmacht dan noodweer excess kepada korban kriminalisasi, dan rumusan norma UU ITE membuka ruang diskriminatif dan melanggengkan pelanggaran HAM.
“Mendorong DPR RI membahas Revisi Kedua UU ITE tidak hanya melalui Komisi I tetapi dengan melibatkan banyak sektor, seperti komisi hukum, komisi yang membahas isu perempuan, kebebasan berekspresi, konsumen, dan isu-isu HAM lainnya. Hal ini penting agar revisi kedua UU ITE bisa mengakomodasi lebih banyak kepentingan,” kata Wirya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas menyoroti sejumlah pasal dalam UU ITE yang mengancam kebebasan pers. Kebebasan pers sejatinya telah dijamin secara khusus melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Salah satu bagian yang diatur dalam UU ini adalah mekanisme sengketa pemberitaan melalui hak jawab, hak tolak, dan pengaduan ke Dewan Pers.
“Namun, terbitnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik pada tahun 2018 yang direvisi pada 2016 memuat sejumlah pasal yang menjadi hambatan bagi kebebasan pers tersebut. Hambatan
terjadi karena, sejumlah pasal tersebut memuat rumusan yang longgar sehingga dapat
menjerat ruang lingkup karya jurnalistik dan kedua karena implementasi pada penegakan hukum yang
tidak memahami UU Pers dan mekanisme sengketa pemberitaan,” kata Ika.
Ada sejumlah pasal yang bermasalah dan mengancam kebebasan pers. Pertama, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Pasal ini telah dimuat di KUHP baru sehingga berpotensi menimbulkan duplikasi dan ketidakpastian hukum. Pasal ini kerap digunakan sebagai instrumen balas dendam atau membungkam jurnalis dan narasumber.
“Bukan hanya yang terkait pada karya jurnalistik maupun jika karya jurnalistik tersebut diedarkan melalui media sosial. Pasal ini menghalangi ekspresi sah yang dikeluarkan atas kepentingan umum karena tidak mengenal pengecualian serta membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat,” kata Ika.
Ika mencontohkan beberapa kasus pemidanaan jurnalis dengan pasal ini. Salah satunya adalah kasus jurnalis Berita.news, Muhammad Asrul, yang divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan, 23 November 202. Asrul dianggap melanggar Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE padahal Dewan Pers menyimpulkan karyanya adalah produk jurnalistik.
“Pasal ini juga digunakan untuk menjerat narasumber. Salah satunya S, seorang ibu yang kedua putrinya menjadi korban pemerkosaan; serta Safrin Salam dari Yayasan LBH Amanah Peduli Kemanusiaan, yang dilaporkan ke polisi setelah mengungkap kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang berinisial A kepada media,” kata Ika.
Pasal berikutnya yang mengancam kebebasan pers adalah Pasal 28A ayat (1) tentang hasutan, ajakan dan mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA.”
Salah satu contoh penggunaan pasal tersebut untuk menjerat jurnalis adalah kasus jurnalis Banjarhits.id/Kumparan.com Diananta Putra Sumedi. Dia divonis penjara 3 bulan 15 hari oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru pada 10 Agustus 2020 karena dianggap bersalah menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA setelah mempublikasikan berita berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.
Pasal lain yang berbahaya adalah Pasal 28A ayat (2) yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.”
Ketentuan pemberitahuan bohong dapat menyasar produk jurnalistik mengingat dalam dua tahun terakhir sejumlah karya jurnalistik dilabeli hoaks oleh Polri. Di antaranya berita Kompas.id berjudul Kehabisan Oksigen, 63 Pasien di RSUP DR. Sardjito Meninggal dalam Sehari pada 4 Juli 2021 dan serial laporan #PercumaLaporPolisi dari Projectmultatuli.org yang dilabeli sebagai hoaks oleh polisi.
Selain soal pemidanaan, AJI juga menyoroti Pasal 40 ayat 2a dan 2b yang tetap dipertahankan dalam draft revisi kedua UU ITE dari pemerintah. Pasal itu menyangkut kewenangan pemerintah untuk mencegah dan memutus akses terhadap informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.
Pasal tersebut menurut Ika memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah untuk menentukan muatan yang melanggar hukum. Apalagi mekanisme pemutusan akses sepenuhnya berada di tangan pemerintah, tidak ada mekanisme pengawasan dari lembaga lain terkait tindakan pemutusan akses. “Dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan wenangan dengan memonopoli informasi, sensor, dan mengontrol informasi,” kata Ika.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, memberikan penekanan pada draf revisi UU ITE yang diajukan oleh Kementerian Kominfo. Menurutnya, draf revisi versi pemerintah tersebut tidak membuat perubahan signifikan.
“Ada tiga kesan yang SAFEnet pindai dalam rancangan revisi kedua UU ITE yang diajukan Kominfo kepada DPR RI, yaitu tidak ada perubahan signifikan, hanya merevisi sebagian pasal, dan mempertahankan pasal-pasal bermasalah,” kata Damar dalam RDPU.
SAFEnet mencatat memang ada perubahan pasal-pasal bermasalah versi pemerintah dalam usulan revisi UU ITE. Di antaranya Pasal 27 ayat (1) tentang ekspresi melanggar kesusilaan; ayat (3) tentang penyerangan kehormatan dan nama baik; ancaman pencemaran, dan ayat (4) tentang ancaman membuka rahasia, serta Pasal 45 tentang ancaman pidananya. Begitu pula dalam Pasal 28 (pemberitaan bohong–konsumen dan menyesatkan), beban pembuktian pada konsumen, dan ancaman pidananya dalam Pasal 45A. Begitu pula perubahan dalam Pasal 29.
“Kami tidak menyangsikan niat baik dari Kominfo saat mendorong revisi kedua UU ITE ini. Namun dapat dikatakan bahwa perubahan bunyi pasal ini tidak signifikan karena masih mengandung banyak permasalahan dari banyak sisi,” kata Damar.
SAFEnet berpendapat keberadaan sebagian pasal-pasal ini tetap dipertahankan dan tidak direvisinya pasal-pasal bermasalah lain dalam UU ITE telah mengganggu cara Internet bekerja, berpotensi menghambat kerjasama internasional, dan akan semakin mencederai hak-hak digital warga negara Indonesia. Padahal, hak-hak digital seharusnya dilindungi oleh konstitusi dan instrumen pelindungan hak asasi, yaitu DUHAM dan Pasal 19 ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Bila mengikuti resolusi PBB, jelas bahwa pasal-pasal pidana yang dicantumkan di dalam rancangan revisi kedua tidak diperlukan karena norma pemidanaannya telah diatur dalam KUHP,” kata dia.
Karena permasalahan Internet hari ini tidak terbatas hanya pada pasal-pasal yang ada dalam rancangan revisi UU ITE, Damar menilai masih ada masalah dalam Pasal 26 (3), Pasal 40 (2b), dan Pasal 43. Selain itu, SAFEnet juga menekankan perlunya pasal terkait tata kelola Internet, tanggung jawab platform teknologi, dan moderasi konten.
“Karena kompleksitas persoalan di dalam UU ITE dan ketidakadilan yang telah menjadi dampak yang tidak diinginkan, para pembuat kebijakan di Komisi 1 DPR RI hendaknya berdiskusi dengan Komisi III DPR RI dan melihat secara holistik rancangan UU ITE. Tidak semata hanya dari aspek ketahanan nasional, tetapi juga melihat dari aspek pemenuhan hak digital. Pembuat kebijakan hendaknya berani melakukan revisi total UU ITE,” kata dia.***
Sumber: Aliansi Jurnalis Indonesia