Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers mendaftarkan permohonan uji materi terhadap kewenangan pemerintah untuk memblokir internet yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ke Mahkamah Konstitusi. Pendaftaran uji materi diajukan Rabu, 23 September 2020 ke Mahkamah Konstitusi RI di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Pemohon dalam uji materi ini adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Arnoldus Belau (Pimpinan Redaksi Suara Papua).
Uji materi diajukan para pemohon yang didampingi oleh para penasihat hukum yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers, sehubungan untuk menilai Undang Undang ITE memberi kewenangan yang tidak tepat kepada pemerintah untuk melakukan pemblokiran internet. Kewenangan itulah yang kerap digunakan oleh pemerintah untuk memblokir internet dengan alasan yang tidak dijelaskan secara transparan dan cenderung sewenang-wenang.
Kewenangan pemblokiran oleh pemerintah itu tertuang dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE, yang isinya menyatakan: “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.”
Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh kewenangan pemerintah yang cenderung berlebihan itu. Salah satu peristiwa yang kemudian mendorong pengujian ini adalah apa yang dialami SuaraPapua pada 4 November 2016 lalu. Saat itu media online yang memberitakan soal pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan hak asasi manusia di Papua itu tak bisa diakses sama sekali sehingga menghambat kerja-kerja jurnalistik. Akses kembali pulih 3 hari kemudian.
Pemohon, melalui melalui kuasa hukumnya yaitu Lembaga Bantuan Hukum Pers, mengirimkan surat pada 8 November 2016, menyatakan protes dan meminta klarifikasi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (selanjutnya disebuat Menkominfo) cq Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (selanjutnya disebut Ditjen Aptika) soal pemblokiran itu. Ditjen Aptika dalam surat balasannya membenarkan adanya pemblokiran situs Suara Papua itu karena mengandung konten yang melanggar ketentuan undang – undang.
Ditjen Aptika menilai pemblokiran tersebut sesuai Pasal 40 ayat 2a dan 2b UU ITE dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Dalam surat balasan tidak dijelaskan secara spesifik konten apa yang dinilai melanggar undang-undang. LBH Pers berkirim surat lagi pada 29 Desember 2016 meminta informasi lebih lanjut mengenai konten yang dianggap telah melanggar itu. Namun surat kedua ini tidak dibalas.
Selain pemblokiran terhadap Suara Papua, pemerintah memang kerap memblokir situs dan juga internet dengan dalih untuk membendung konten yang melanggar undang-undang atau untuk mencegah penyebaran kabar bohong. Pemerintah pada Agustus-September 2019 memperlambat dan memblokir internet di Papua dan papua barat. Tindakan Pemblokiran tersebut telah menghambat kerja-kerja jurnalis yang berada di papua dan papua barat, jika merujuk pada pasal 4 ayat 1 UU Pers menyebutkan “kemerdekaan pers di jamin sebagai hak asasi warga negara” atas tindakan tersebut AJI Indonesia dan SAFENet mengajukan gugatan Perbuatan melanggar hukum pemerintah ke PTUN Jakarta. Dalam putusan No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT yang dibacakan pada tanggal 3 Juni 2020, menyatakan tindakan pemerintah melanggar hukum.
Pemerintah ini memang kerap melakukan pemblokiran situs dengan menggunakan pasal Pasal 40 ayat (2b) UU ITE itu sebagai dasar hukumnya. Menurut monitoring Safe Net, Kominfo memblokir ribuan situs pada tahun 2018. Alasan pemblokiran beragam, mulai dari alasan memuat konten pornografi, perjudian, penipuan hingga terorisme dan separatisme. Kominfo juga memblokir akun Facebook dan Instagram karena alasan konten negatif (8.903), akun Twitter dengan konten negatif (4.985).
Ketua AJI Abdul Manan mengatakan, uji materi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengoreksi kewenangan dari Undang Undang ITE kepada pemerintah soal pemblokiran. Sebab, kewenangan itulah yang kerap dijadikan dasar untuk memblokir situs dan juga memblokir internet. “Pemerintah juga tidak transparan soal dasar pemblokiran selain hanya mengatakan karena mengandung konten negatif atau melanggar undang-undang. Kami melihat pemblokiran itu juga dipakai untuk meredam atau membungkam informasi atau pandangan kritis atau tidak sejalan dengan narasi pemerintah,” kata Manan.
Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers yang juga pengacara yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers menilai kewenangan pemblokiran oleh pemerintah itu melampaui kewenangannya dan tidak sejalan dengan Konstitusi. “Kewenangan pemblokiran itu seperti mengambil alih kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum,” kata Ade.
Dalam uji materi ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers meminta kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE “bertentangan secara bersyarat” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Pemohon meminta bahwa kewenangan pemblokiran oleh pemerintah itu tetap harus melalui proses hukum, tidak hanya berdasarkan keputusan sepihak pemerintah seperti yang terjadi selama ini.
Informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
1. LBH Pers Ade Wahyudin
2. AJI Indonesia Abdul Manan
3. Elsam Andi Muttaqin
4. YLBHI Era Purnamasari
5. KontraS Arief Nur Fikri
6. YSK Fati Lazira
7. SAFEnet Damar Juniarto