Dari pengobatan jerawat menuju meja persidangan. Kasus ini dialami Stella Monica, warga Surabaya yang berobat ke klinik kecantikan karena wajah meradang. Bukannya sembuh, Stella dipaksa harus berhadapan dengan tuntutan hukum. Ancamannya, pencemaran nama baik seperti yang tertera dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tentu Stella tidak sendirian. Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) ada 393 kasus penuntutan menggunakan UU ITE sepanjang 2013-2021. Jumlah kasus di 2021 menurun cukup drastis dibanding tahun sebelumnya.
Riset SAFEnet sebelumnya dari 2013-2018 juga sempat mengungkap bahwa pejabat publik dan pengusaha adalah pihak yang sering mengadukan orang dengan UU ITE. Belakangan, di 2020, pengusaha mulai urung memakai UU ITE, tapi jumlah pejabat publik yang menggunakannya masih cukup banyak. Dari 84 kasus, 47 di antaranya melibatkan pelaporan dari pejabat publik.
Pada 2021, revisi kedua UU ITE diusulkan oleh pemerintah. Pemicunya adalah pidato Presiden Jokowi yang merasa UU ITE merugikan masyarakat. Bila perlu, Jokowi mengatakan akan mengusulkan revisi atau “terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.” Nyatanya, sampai pada 2023, revisi UU ITE belum selesai. Kelima pasal yang diusulkan pemerintah, yaitu: Pasal 27, 28, 29, 36, dan 45C masih ada dan hanya dilakukan revisi minor.
Meski dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021, pembahasan RUU ITE baru dimulai pada medio 2023. DPR bersama pemerintah menyetujui setidaknya 38 DIM yang terdiri dari atas usulan yang bersifat tetap 7 DIM, usulan perubahan redaksional 7 DIM, dan usulan perubahan substansi 24 DIM. Selain itu, terdapat 16 DIM RUU usulan baru dari fraksi serta DIM Penjelasan sebanyak 26 DIM. DPR setidaknya sudah melakukan pembahasan UU ITE 15 kali. Sebagian besar dilakukan secara tertutup. Hanya lima kali rapat yang diumumkan dalam situs resmi DPR. Sisanya dilakukan secara tertutup, bahkan ketika pembahasan rapat dengan Kemenkominfo. “Beberapa kali rapat kita memang kita buat secara tertutup untuk keleluasaan kami membahas, meng-exercise (menguji) dengan isu-isu yang sensitif, yang kiranya kalau misalnya terekam segala macam tidak membuat masalah,” kata Ketua Panja UU ITE sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/8/2023). Abdul Kharis menegaskan, DPR dan pemerintah sepakat untuk menghapuskan pasal karet sehingga menjadi tegas dan tidak disalahartikan lagi. Dia mengklaim bahwa pembahasan yang dilakukan bisa membantu aparat penegak hukum tidak lagi menggunakan celah-celah untuk menjerat sipil dengan UU ITE.
Baca selengkapnya di artikel “Mengapa Revisi UU ITE Belum Menjawab Masalah Pasal Karet?”, https://tirto.id/gRE5