Revisi UU ITE

Pemilu 2024: Penyensoran Berbulu Moderasi Konten

Pemilihan Umum (pemilu) seringkali digaungkan sebagai “pesta” demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap warga negara dapat berpartisipasi memilih jagoannya untuk menjadi pemimpin dan pembuat kebijakan. Masa-masa kampanye juga menjadi ajang untuk beradu ide dan gagasan mengenai pembangunan negara. Media sosial menjadi salah satu tempat untuk mentransformasikan gagasan tersebut. Media sosial juga menjadi ruang bagi masyarakat sipil untuk mengawasi jalannya kompetisi ini. Melihat realitas pemilu kemarin, menjadi ironi ketika justru terdapat indikasi upaya-upaya penggembosan pendapat dan ekspresi di pesta demokrasi.

Southeast Asia Freedom Of Expression Network (SAFEnet) setidaknya menemukan 2 (dua) postingan yang diminta oleh platform X untuk ditakedown.

Yang pertama merupakan cuitan dari Soe Tjen Marching. Seorang aktivis dan penulis buku yang aktif bersuara mengenai isu HAM dan demokrasi. Soe Tjen Marching mengquote sebuah video seperti gambar diatas yang berisi tentang calon wakil presiden pasangan nomor urut 02, Gibran Rakabumingraka, pada saat debat berlangsung dan terdapat orang yang seolah-olah mengeja jawaban Gibran.

sumber gambar: akun X @soetjenmarching

Setelah postingan tersebut, Soe Tjen mendapatkan email yang berisikan permintaan takedown dari X yang diperintahkan oleh Kementrian Kominfo. Alasan yang tertuang dalam email tersebut hanya tertulis telah melanggar hukum Indonesia. Belum jelas bagian dan pasal mana tepatnya yang dilanggar hingga muncul permintaan tersebut. Ketidakjelasan ini menjadi bukti minimnya transparansi pelaksanaan takedown konten. Hal inipun berpotensi melanggar kebebasan berekspresi karena subjektivitas dalam menilai mana konten yang harus konten yang harus ditakedown dan mana yang tidak

Sumber gambar: Akun X @andikamalreza

“Surat cinta” dari X juga diterima oleh akun @andikamalreza. Pemilik akun tersebut mengomentari screenshoot akun resmi partai gerindra yang menuliskan “keraddd, bang” pada salah satu konten TikTok. Hal yang sama disampaikan dalam email permintaan takedown ini bahwa cuitan @andikamalreza melawan hukum yang berlaku di Indonesia. Pertanyaan kembali muncul: mengapa postingan ini dinilai melawan hukum yang berlaku sementara isinya hanya pernyataan konfirmasi bahwa benar akun tersebut adalah akun Partai Gerindra? Lagi-lagi, minimnya transparansi inipun dapat berpotensi penyalahgunaan wewenang oleh otoritas terkait dengan upaya memberantas konten-konten yang menimbulkan citra buruk bagi salah satu pasangan calon tertentu.

Permintaan takedown oleh pemerintah ini merupakan suatu bentuk moderasi konten. Moderasi konten merupakan sebuah serangkaian tindakan dan alat yang digunakan platform media sosial untuk menangani konten ilegal dan menegakkan standar komunitas terhadap konten buatan pengguna. Di Indonesia, sejak terbitnya Peraturan Kementrian Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (Permenkominfo 5/2020) pemerintah punya kewenangan besar untuk melakukan moderasi konten dengan mengirimkan permintaan kepada platform. Platform yang telah terdaftarpun pada akhirnya wajib mengikuti permintaan pemerintah. Apabila tidak, terdapat sanksi yang akan dikenakan kepada platform.

Permenkominfo 5/2020 ini mewajibkan platform media sosial untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi yang:

  1. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dan;
  3. memberitahukan cara atau menyediakan terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.

Melihat rumusannya, poin-poin ini tidak memiliki parameter yang pasti. Meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum selalu diterapkan dengan liar dalam praktiknya. Ini dapat tercermin dari pasal-pasal berita bohong, demonstrasi, dan ujaran kebencian yang seringkali menjerat suara kritis dengan pidana. Poin melanggar undang-undang ini pun dalam implementasinya —seperti pada temuan diatas tidak disampaikan secara transparan dan akuntabel. Dengan rumusan pasal yang karet dan praktik yang jauh dari jaminan atas kebebasan berpendapat, pada akhirnya moderasi konten ini menjadi motede baru rezim untuk membungkam ekspresi. Terlebih dalam pesta politik seperti Pemilu 2024, rawannya disalahgunakan moderasi konten ini untuk melanggengkan kekuasaan.

Memang sejatinya moderasi konten merupakan mekanisme yang penting untuk dilakukan agar ruang media sosial aman dari serangan-serangan daring. Khususnya kelompok rentan yang seringkali mendapat ujaran kebencian yang pada akhirnya menimbulkan penebalan stigma hingga berakibat diskriminasi bahkan persekusi.

Pada revisi UU ITE terbaru, berusaha memberikan legitimasi yang lebih tinggi terhadap mekanisme moderasi konten. Moderasi konten diatur dalam Pasal 40 dan 40A.

Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) menyatakan bahwa

(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan Akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan Akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Dalam Pasal 40A juga dijelaskan juga bahwa demi kepentingan umum pemerintah berhak memberikan sanksi administratif kepada Penyelenggara Sistem Elektronik dengan salah satu caranya adalah memutus akses

Rumusan pasal ini memperlihatkan bahwa pemerintah memiliki kewenangan besar untuk membatasi konten-konten di Internet dan membuat PSE tunduk pada ketentuan yang ada. Hal ini pada akhirnya berpotensi memunculkan abuse of power dan kontrol internet berlebih dari negara. Sehingga, pengaturan moderasi konten masih penuh dengan catatan agar tetap menciptakan keseimbangan antara perlindungan hak atas rasa aman dan penghormatan hak kebebasan berpendapat.

Artikel lainnya :
  • December 9, 2023

Dewan Pers: Revisi Kedua UU ITE Ancam Kemerdekaan Pers

Revisi kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang...

  • December 11, 2023

Dewan Pers Tolak Revisi UU ITE

Dewan Pers menolak revisi Undang-Undang Informasi Transaksi Teknologi (ITE)...

  • December 6, 2023

Revisi UU ITE Harus Mampu Perkuat Perlindungan terhadap Setiap Warga Negara

Perbaikan kebijakan terkait teknologi informasi membutuhkan perhatian yang terpusat...