SAFEnet mencatat dalam Laporan Situasi Hak-Hak Digital 2023 sebanyak 126 orang yang dilaporkan ke polisi karena aktivitas mereka di internet ke polisi pada 2023. Para terlapor dianggap telah melakukan pelanggaran pidana karena melakukan pencemaran nama ataupun ujaran kebencian secara daring. Jumlah terlapor pada 2023 meningkat sebanyak 15,9 persen dibandingkan jumlah terlapor pada tahun sebelumnya yang mencapai 107 orang. Berdasarkan pemantauan SAFEnet, jumlah terlapor tersebut mengacu pada 114 laporan kepolisian sepanjang Januari-Desember 2023.
Sejak melakukan pemantauan dan advokasi terhadap kasus-kasus kriminalisasi ekspresi daring, hingga 2023 SAFEnet masih melihat adanya tren kriminalisasi yang terus bertambah dengan menggunakan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE. Kriminalisasi ini menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia karena turut dalam penyempitan ruang sipil dan demokrasi, serta mendorong praktik swasensor di kalangan media dan individu.
Praktik kriminalisasi ini juga ditandai dengan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelapor dan terlapor. Tahun 2023 kembali menunjukkan dengan jelas indikasi hal tersebut. Warganet kembali menjadi kelompok paling banyak dilaporkan bersama dengan pembuat konten dan mahasiswa karena dituduh telah melanggar UU ITE dan regulasi lain yang bermasalah. Sementara itu, organisasi/institusi, pejabat publik, dan pengusaha/perusahaan merupakan tiga besar latar belakang para pembuat laporan kepolisian. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelapor dan terlapor yang terlihat dengan jelas.
Pada periode tahun 2023, penggunaan pasal karet dalam UU ITE sebagai pasal utama pelaporan terus berlanjut. Hampir separuh dari total data kasus yang dikumpulkan SAFEnet pada 2023 atau sebanyak 48 kasus (42,11 persen) menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama sebagai pasal utama pelaporan. Tak jarang pasal ini dilapis dengan 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian menempati urutan kedua terbanyak dengan jumlah 28 pelaporan (24,56 persen). Beberapa kasus dilapis dengan pasal 156A KUHP terkait penodaan agama. Adapun penggunaan UU ITE tanpa penjelasan pasal pada laporan polisi juga tercatat tinggi dengan angka 21 laporan (18,42 persen). Pelaporan sisanya menggunakan pasal 27 ayat 1 UU ITE terkait perbuatan asusila, pasal 14-15 UU No. 1 tahun 1946 mengenai berita bohong, dan Pasal 45 ayat 3 UU ITE terkait ancaman penyebaran informasi elektronik bermuatan ancaman kekerasan.
Platform atau media yang paling banyak digunakan sebagai bukti dan bahan pelaporan ke polisi pada periode ini didominasi media sosial sebanyak 64 laporan (56,14 persen). Menyusul kemudian pemberitaan/siaran pers sebanyak 9 laporan (7,9 persen), aplikasi percakapan 7 laporan (6,14 persen), aksi langsung 4 laporan (3,51 persen), dan lainnya 5 laporan (4,39 persen). Sisanya tidak diketahui atau tidak disertakan dalam laporan ke polisi.
Pelaporan kasus atau kriminalisasi terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Meskipundemikian, pulau Jawa masih menjadi daerah dengan kasus kriminalisasi terbanyak, yang didominasi pelaporan ke Bareskrim Polri dan Polda Jakarta sebanyak 32 laporan. Kemudian laporan di area Polda, Polres dan Polsek di Jawa Timur dan Jawa Barat masing-masing 9 laporan. Laporan di kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 7 laporan. Sisanya tersebar mulai dari Aceh hingga Papua.
Laporan lengkap Situasi Hak-hak Digital di Indonesia 2023 dapat diunduh pada tautan berikut: