Komnas Perempuan dalam pernyataan tertulis yang diterima Konde.co menyatakan, berkepentingan untuk membahas substansi UU ITE ini. Mengingat berbagai kajian dan data telah menunjukkan, UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) ini, belum dapat melindungi perempuan.
Pengesahan perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih menyisakan perdebatan. Bukan saja keengganan Komisi I DPR dan Pemerintah untuk membuka pembahasan secara utuh, tapi substansi revisi kedua UU ITE yang dinilai malah ‘makin karet’.
Revisi UU ITE ini belum menjamin perempuan aman dari kekerasan seksual dan eksploitasi dalam dunia siber. Utamanya, perbuatan penyebaran materi bermuatan seksual.
Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah ancaman dan tindakan penyebaran foto/video bermuatan seksual, berdampak pada dipermalukannya perempuan korban bahkan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE atau UU Pornografi.
Kajian Komnas Perempuan juga menunjukkan, UU ITE tidak hanya mengkriminalisasi perempuan korban seksual, tapi perempuan korban kekerasan berbasis gender lainnya seperti korban KDRT. Misalnya, saat Ia menuliskan/mengunggah ceritanya tentang kasus yang dialaminya di sosmed. Dia bisa dijerat pasal pencemaran nama baik melalui UU ITE.
Kondisi ini mempersulit perempuan korban untuk keluar dari jerat kriminalisasi. Terlebih jika suami pasangan itu punya relasi kuasa yang besar. Seperti seorang pejabat publik atau elit yang punya sumber daya dan kuasa lebih dibandingkan perempuan.
Konde.co merangkum pasal-pasal bermasalah di revisi kedua UU ITE yang berdampak bagi perempuan. Apa saja?
- Kriminalisasi Korban kekerasan Seksual (Pasal 27 Ayat 1)
- Ujaran Kebencian (Pasal 28 Ayat 2)
- Menyebarkan Berita Bohong (Pasal 28 Ayat 3)
- Pemerasan dan Pengancaman, (Pasal 29)
- Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)
Selengkapnya, dapat dabaca di website Konde.co