Pada 23 Juni 2021, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI menandatangani Surat Keputusan Bersama Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dari SKB/Pedoman ini ICJR melihat ada beberapa ketentuan yang dapat berpeluang membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan, namun masih terdapat catatan yang menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan. Beberapa catatan tersebut adalah:
1. Pasal 27 Ayat (1) tentang Kesusilaan UU ITE
Pedoman telah merujuk pasal 281-282 KUHP dan UU Pornografi, namun sayangnya, berbeda dengan KUHP dan UU Pornografi yang mengatur bahwa melanggar kesusilaan haruslah di muka umum atau untuk keperluan komersial, pedoman masih mengatur korespondensi orang ke orang dapat dijerat, tanpa secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi/distribusi/membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum. Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korepondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum atau tidak untuk kebutuhan komersil.
Namun perlu diingat bahwa dalam pedoman, Pasal 27 Ayat (1) sudah menyatakan konten kesusilaan merujuk pasal UU Pornografi, sehingga dengan merujuk langsung UU Pornografi maka ketentuan pengecualian pidana untuk kepentingan pribadi atau privat seperti yang dimuat dalam UU Pornografi harus berlaku secara otomatis.
2. Pasal 27 Ayat (3) tentang Pencemaran Nama Baik
Pedoman pasal ini merupakan yang paling baik dalam upaya meluruskan masalah implementasi UU ITE. SKB Pedoman memberikan penegasan bahwa Pasal 27 Ayat (3) merujuk ke Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya, sehingga hanya bisa digunakan lewat aduan korban / seseorang yang diserang kehormatan, dan korban di sini hanya dimengerti sebagai orang perseorangan (naturlijkpersoon) dan bukan badan hukum (rechtpersoon).
Pedoman juga berhasil memberikan gradasi dari apa perbuatan “menyerang kehormatan”, dan memberikan pengecualian bagi delik penghinaan ringan untuk tidak bisa digunakan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Pasal ini juga bermasalah juga ditandai dengan tingginya kriminalisasi pendapat dan opini masyarakat yang berisi kritik / penilaian / hasil evaluasi, yang di dalam SKB Pedoman sudah memberikan pengecualian bagi perbuatan-perbuatan tersebut, untuk tidak diartikan sebagai perbuatan “menyerang kehormatan” atau “penghinaan” atau “mencemarkan nama” seseorang.
3. Pasal 27 Ayat (4) tentang Pemerasan/Pengancaman
Selanjutnya, ICJR juga memberikan catatan baik untuk SKB Pedoman dari Pasal ini yang bisa memberikan perlindungan bagi korban KBGO, meskipun pasal ini sejatinya sudah ada dan merupakan duplikasi dari KUHP. Merujuk pada substansi: “Termasuk dalam perbuatan pidana Pasal 27 Ayat (4) UU ITE perbuatan mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi” maka korban-korban KBGO dapat melaporkan tindakan pengancaman dan pemerasan kepada mereka, dan aparat penegak hukum tidak lagi dapat berkelit tidak ada pasal pidana untuk menjerat pengancam atau pemeras korban KBGO.
4. Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian
Pedoman berusaha untuk memberikan batasan terkait ujaran kebencian, hal ini bisa menjadi langkah awal untuk melakukan revisi UU ITE, namun permasalahan sesungguhnya terletak pada pengertian “antargolongan”. Unsur “antargolongan” masih menjadi masalah serius paska putusan MK, sehingga ini memang harus direvisi nantinya. Sejalan dengan Putusan MK yang meminta pembentuk undang-undang untuk melihat adanya kelompok lain di luar SARA yang menjadi bagian dari “antargolongan”, maka dalam konteks itu, Pemerintah dan DPR harus mempertegas “antargolongan” ini tetap berdasar pada identitas masyarakat atau warga negara, yang merupakan sesuatu yang melekat dan susah diubah, bukan profesi, kelompok, atau hal lain yang mudah untuk berubah-ubah.
5. Pasal 29 UU ITE tentang Pengancaman di Ruang Siber (Cyberbullying)
Pedoman pasal ini cukup bermasalah karena tidak memasukkan syarat pasal ini sebagai delik aduan, pasal ini harusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi. Hal ini harus dipertegas, khususnya dalam revisi UU ITE nantinya.
6. Pasal 36 tentang Perbuatan Pidana yang Menyebabkan Kerugian bagi Orang Lain
Pedoman belum mempertegas peran dari Polisi dan Jaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat Pasal 27 – 34 UU ITE. Hal ini diperlukan karena di dalam praktiknya, banyak ditemui Pasal ini digunakan semata-mata agar Aparat Penegak Hukum bisa melakukan penahanan bagi perbuatan pidana yang diancamkan dibawah lima tahun dan tidak bisa dilakukan upaya paksa. Namun, setidaknya dengan adanya ketentuan bahwa kerugian adalah delik materiil, Polisi dan Jaksa perlu mencari alat bukti nyata kerugian tersebut sebelum menggunakan pasal ini.
Melihat isi dari pedoman ini maka setidaknya ICJR menilai ada beberapa pengaturan yang berpeluang dapat memperbaiki implementasi aturan UU ITE. Namun tentu, perlu ditegaskan kembali, Pedoman ini disusun sebagai pedoman implementasi dalam masa transisi pengesahan Revisi Kedua UU ITE, seperti yang dijanjikan Pemerintah. Pedoman semacam ini tidak boleh menjadi kebiasaan dalam menjawab permasalahan norma dalam sebuah Undang-Undang. Lebih jauh, keberadaan Pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya Revisi UU ITE untuk segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Sebab tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh Pedoman UU ITE.
Sumber: ICJR