Puluhan korban kriminalisasi Undang-Undang ITE (UU ITE) yang tergabung dalam Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) melaksanakan jalan santai sambil mendorong revisi total UU ITE di Car Free Day Jakarta, pada Minggu (28/3/2023). Anggota PAKU ITE yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini menyuarakan pentingnya proses revisi UU ITE yang berpihak pada kepentingan publik agar tidak bertambah lagi korban kriminalisasi.
Selain melakukan jalan santai, PAKU ITE juga mengajak masyarakat umum untuk ikut mendesak DPR-RI dengan menandatangani surat desakan yang ditujukan kepada Komisi I DPR-RI dan pemerintah, yang saat ini tengah menjalani pembahasan Revisi UU ITE. Dukungan masyarakat ini sebagai upaya mengawasi perbaikan dan penataan ulang UU yang harus disikapi serius semua pihak.
Berdasarkan informasi pembahasan dalam rapat tertutup antara Panja Komisi I DPR RI dan Pemerintah pada Rabu, 24 Mei 2023 lalu, ada beberapa materi yang menjadi fokus perubahan, yakni pasal 27 ayat (1) Kesusilaan, ayat (3) pencemaran nama baik dan ayat (4) tentang pemerasan dan/atau pengancaman. Kemudian Pasal 28 tentang berita bohong, penambahan ketentuan pasal 28A dan pasal 29 mengenai konten suku, agama ras dan antar golongan dan pemberitahuan berita bohong yang menimbulkan onar di masyarakat. Kemudian pasal 29 tentang perundungan (cyber bullying) dan perubahan pasal 36 tentang pemberatan hukuman yang mengakibatkan kerugian orang lain dan perubahan pasal ketentuan ancaman pidana dalam Pasal 45.
Bahwa pembahasan yang dilakukan tertutup tersebut seolah menegasikan persoalan utama “Siapapun bisa menjadi korban.” UU ITE mestinya bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan perekonomian, meningkatkan efektivitas pelayanan publik, memajukan pemanfaatan dan penggunaan teknologi informasi serta memberikan kepastian hukum pada penyelenggara dan pengguna teknologi informasi justru lebih sering membatasi hak warga.
Laporan SAFEnet menunjukkan 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE sepanjang 2013 sampai 2021. Tak hanya itu, situs registrasi Mahkamah Agung juga menunjukkan sepanjang 2011 sampai 2018 terdapat 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE. Perkara-perkara tersebut mayoritas berkaitan dengan pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan 28 ayat (2) mengenai ujaran kebencian.
Kita “Semua Bisa Kena” merupakan kalimat yang relevan menggambarkan wajah UU ITE sekarang. Sebab siapa pun bisa jadi pesakitan melalui pasal-pasal karet dalam undang-undang ini. Tidak peduli siapa pun Anda, baik buruh yang menagih upah, ibu rumah tangga yang membela kehormatan, dermawan yang menagih piutang, pengacara, dokter, aktivis, mahasiswa, wartawan, dosen, dan siapa pun statusmu!
Fakta Baiq Nuril adalah salah satu dari sekian banyak korban dari upaya pembungkaman menjaga kehormatannya justru harus berujung pada pemenjaraan. Dia seorang guru honorer yang dituduh menyebarkan rekaman pelecehan seksual dari seorang oknum kepala sekolah kepada dirinya. Seorang perempuan yang sedang memperjuangkan kehormatannya, malah harus pesakitan karena pelaku yang tidak terima justru melaporkannya menggunakan UU ITE.
Selain Baiq Nuril, UU ITE juga digunakan untuk mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan oleh seorang pejabat publik atas dugaan melanggar pasal nama baik UU ITE. Dengan begitu banyaknya persoalan pada peraturan ini, sehingga gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE, terus berupaya mendorong revisi kedua UU ITE agar memenuhi standar-standar hak asasi manusia (HAM) internasional.
Koalisi Serius menilai sejumlah pasal dalam UU ITE bermasalah dan wajib untuk direvisi, atau bahkan dihapus. Daftar pasal bermasalah tersebut telah diserahkan kepada Komisi I DPR RI, selanjutnya diharapkan dapat menjadi bahan pembahasan dan pertimbangan dalam pembahasan revisi kedua UU ITE, di antaranya:
- Menghapus Pasal 26(3) tentang penghapusan data karena sudah diatur di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi;
- Menghapus Pasal 27(1) tentang kesusilaan karena sudah diatur di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
- Menghapus Pasal 27(3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang penyebaran pemberitahuan bohong karena kerap disalah-gunakan untuk membungkam kritik dan ekspresi damai;
- Merevisi Pasal 40(2a) dan (2b) tentang pemutusan akses internet yang kerap digunakan untuk membatasi laju informasi, terutama di wilayah Papua;
- Menghapus pasal-pasal bermasalah yang lain, yang rentan mengkriminalkan banyak korban, mencederai prinsip demokrasi dan mengancam hak kelompok rentan, sebagaimana lampiran kajian kami; serta
- Membuka ruang pembahasan dalam tim panja Komisi I DPR dengan melibatkan partisipasi bermakna agar publik dapat ikut terlibat dalam proses pembahasan revisi kedua UU ITE di DPR RI;
Demikian rilis pers ini kami buat dengan sebenar-sebenarnya dengan harapan dapat diberitakan oleh rekan-rekan pers dan mendapat perhatian pemerintah, aparat penegak hukum, dan para hakim dalam kasus-kasus berbasis UU ITE serta perhatian dan dukungan publik, warga negara Indonesia. Mungkin kami hari ini, tapi esok bisa saja Anda, karena “Semua Bisa Kena!” (LBH Pers, SAFEnet, Amnesty International Indonesia,YLBHI, LBH APIK Jakarta, ICJR)