Pernahkah kamu mengira? Punya keresahan mengenai lingkungan yang amat dicintainya, lalu memperjuangkan melalui cuitan-cuitan di media sosial, tetapi berakhir di penjara. Padahal, kamu hanya ingin menjaga tempat tinggalmu dari limbah dan penyakit.
Itu yang terjadi pada Daniel. Daniel Tangkilisan, seorang pejuang lingkungan yang berani dan konsisten mengkritik pencemaran lingkungan di Karimunjawa divonis 7 (tujuh) bulan penjara dan denda Rp 5.000.000. Hal ini adalah buntut dari dilaporkannya Daniel atas komentar kritisnya mengenai aktivitas tambak udang ilegal dengan menggunakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian terhadap Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Pelaporan ini dinilai oleh masyarakat sipil sebagai pembungkaman terhadap suara kritis Daniel yang memperjuangkan kelestarian lingkungan. Bahkan, tidak hanya Daniel, terdapat 3 warga Karimunjawa lainnya yang dilaporkan menggunakan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) tentang pencemaran nama baik oleh pihak petambak. Ancaman dan intimidasi terus menerus dilakukan untuk menekan aktivisme penolakan terhadap tambak ilegal yang sudah mengganggu warga sejak Tahun 2017.
Dengan kondisi lingkungan yang tercemar, masyarakat Karimunjawa hanya berjuang untuk memenuhi haknya. Akan tetapi, usaha tersebut dijegal dengan pasal-pasal karet UU ITE yang digunakan oleh para petambak. Vonis Daniel, menjadi bukti bahwa pengadilan masih tunduk pada ketidakadilan dan abai terhadap kerusakan lingkungan yang ada.
Buruknya Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa memunculkan pernyataan-pernyataan kontradiktif dan tidak sesuai dengan hukum normatif serta nilai-nilai keadilan.
Beberapa kali, Daniel diamini sebagai aktivis lingkungan. Pada fakta hukum, tertulis
“bahwa Terdakwa sering kali melakukan kegiatan di bidang pemerhati lingkungan dan pariwisata di Karimunjawa…”
Terdapat pula dalil penasihat hukum yang menyebutkan Daniel merupakan pejuang lingkungan pada pertimbangan hakim. Akan tetapi, hal ini ditepis dengan pernyataan bahwa ia tidak berhak memberikan komentar tersebut dan menilai tanpa parameter yang jelas bahwa ada alternatif lain dapat dilakukan oleh Daniel. Sehingga, ketentuan Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation tidak digunakan oleh Hakim. Padahal, terdapat aspek kepentingan umum yang lebih luas yakni pencemaran lingkungan yang membahayakan masyarakat secara luas.
Dalam pertimbangannya, majelispun menggunakan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan.”
Perlu diketahui bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah direvisi pada awal 2024. Rumusan berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada pasal ujaran kebencian UU ITE sebelumnya dinilai karet karena frasa “antargolongan” pada praktiknya ditafsirkan bebas oleh siapapun. Oleh karena itu, frasa SARA ini telah diubah menjadi “berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik”. Perubahan ini memperlihatkan terdapat perbedaan signifikan siapa-siapa saja yang dikategorikan sebagai korban dari ujaran kebencian.
Sehingga, komentar Daniel mengenai “masyarakat otak udang” yang dihubungkan oleh pengadilan sebagai masyarakat Karimunjawa dan masuk dalam istilah antargolongan seharusnya merujuk pada ketentuan baru UU ITE yang sudah di revisi. Tidak ada lagi istilah antargolongan sehingga apabila mengacu pada Pasal 1 ayat (2) KUHP hukuman paling ringan adalah tidak dipidana sama sekali karena tidak termasuk unsur pasal yang masuk.
Cerminan Buruknya Rumusan Pasal SARA
Pasal mengenai ujaran kebencian SARA ini berulang kali telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Pasal ini diujikan karena luasnya interpretasi frasa “antargolongan” sehingga dapat menjerat siapapun yang berekspresi SAFEnet mencatat, sepanjang 2023 terdapat 124 orang yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE. Dari angka tersebut, 24,56% di antaranya dilaporkan dengan pasal ujaran kebencian ini.
Padahal, awalnya ujaran kebencian merupakan bentuk perlindungan hukum yang digunakan untuk mencegah perpecahan dan kerusuhan. Hal ini terdapa
Namun, penggunaa kekuasaan untuk membatasi harus dengan syarat-syarat yang ketat agar tetap memperhatikan pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal yang dilindungi oleh konsep ujaran kebencian ini adalah hal-hal yang melekat pada identitas seperti ras, etnis, gender dan orientasi seksual, dan kondisi fisik lainnya. Berdasarkan Rabat Plan of Action, terdapat 6 indikator untuk menyeimbangkan kedua hal ini, yakni (1) konteks; (2) pengujar; (3) maksud; (4) isi dan bentuk; (5) batas ujaran dan; (6) kemungkinan.
Menteri Komunikasi dan Informastika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI pada tahun 2021 pun akhirnya mengeluarkan sebuah pedoman implementasi. UU ITE sebagai respon dari banyaknya penggunaan pasal-pasal karet ini dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Lembaga. Namun sayangnya, arti frasaantargolongan” pada SARA juga masih bisa diartikan secara luas dengan dalih mengisi kekosongan hukum. Sehingga, meski adanya SKB 3 Lembaga ini, pembungkaman suara-suara kritis masih kerap terjadi. Contohnya adalah kasus Wahyu, seorang pedagang di Kabupaten Bogor yang mengkritisi suatu majelis taklim. Ia curhat lewat TikTok usai majelis tersebut memasang spanduk larangan bagi jemaatnya untuk berbelanja di warung sekitarnya yang kemudian berdampak pada kerugian usahanya.
Koalisi Nasional Selamatkan Karimunjawa
Melihat kondisi yang kian memburuk, belasan organisasi masyarakat sipil membentuk Koalisi Nasional Selamatkan Karimunjawa untuk mengadvokasi kasus perusakan lingkungan karena tambak udang dan kriminalisasi Daniel serta pejuang lingkungan lainnya. Koalisi ini terdiri dari Kawali, Lingkar Juang Karimunjawa, Jepara Poster Syndicate, Balong Wani, Walhi Jateng, SAFEnet, ICJR, KontraS, Amnesty International Indonesia, ILUNI UI, Greenpeace Indonesia, Aksi Kamisan Semarang dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Dalam proses advokasi, koalisi telah melakukan audiensi bersama Komnas HAM dan meminta pengawasan kepada Komisi Yudisial pada proses persidangan. Koalisi juga membentuk petisi yang hingga saat ini telah ditandatangani lebih dari 11.000 orang. Hal ini menjadi bukti bahwa publik menilai Daniel tidak melakukan tindak pidana dan berjuang untuk lingkungan hidup.