U ITE adalah undang-undang karet di era digital. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini telah menjerat banyak korban, bahkan setelah adanya revisi pada 2016.
Menurut monitoring jaringan sukarela pembela kebebasan berekspresi dan hak di digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 2008. SAFEnet juga mencatat hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. Peluang terlepas dari jeratan UU ITE sangat kecil apabila kasusnya sudah masuk dalam proses pengadilan
Sebaran Kasus UU ITE
di Indonesia Dari 245 laporan kasus UU ITE bersumber dari SAFEnet, hampir 60 persen lebih kebanyakan kasusnya terjadi di pulau Jawa. Meski demikian, laporan UU ITE juga menonjol di beberapa wilayah luar pulau Jawa. Misalnya saja di Nusa Tenggara Barat (NTB), tercatat ada 14 kasus pernah terjadi. Wilayah ini juga menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak di luar pulau Jawa. Sementara itu, wilayah lainnya, Sulawesi Selatan punya 13 kasus dan Sumatera Utara dengan 12 kasus.
Banyaknya laporan kasus UU ITE di Nusa Tenggara Barat terjadi pada 2017. Salah satu kasusnya adalah laporan 12 pengacara dari Tim Pembela Gerakan Pribumi Berdaulat terhadap lima pengguna media sosial (medsos). Konteksnya terkait dengan kasus penghinaan Gubernur NTB, TGH M. Zainul Majdi.
Sementara kasus di Sulawesi Selatan, pada 2014, wakil walikota Parepare Ahmad Faisal Andi Sapada melaporkan Ketua LSM Benteng Ampera Parepare, Muhammad Fihir. Kasusnya terkait dengan pencemaran nama baik melalui Facebook. Atas tindakannya, Muhammad Fihir dituntut oleh jaksa 18 bulan penjara pada Agustus 2015.
Sedangkan kasus di Sumatera Utara, pada 2018, kepolisian setempat mengamankan Amar Alsaya Dalimunthe, satpam di Bank Sumut Serbelawan, karena mengunggah status bahwa terorisme adalah pengalihan isu.
Siapa pelapor kasus UU ITE terbanyak?
Sebanyak 35,92 persen orang yang melaporkan kasus UU ITE adalah pejabat negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan. Pelapor awam tercatat mencapai 32,24 persen.
Menariknya, kedua kelompok pelapor itu sama-sama banyak memakai pasal 27 ayat 3 (defamasi) sebagai jerat hukum dan soal unggahan konten bermuatan ujaran kebencian. Akan tetapi, motif penggunaan keduanya berbeda. Selain itu, kedua kelompok pelapor pun tercatat sama-sama banyak melaporkan terlapor awam dalam kasus UU ITE.
Baca selengkapnya di artikel “Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara”, https://tirto.id/c7sk