Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengungkapkan bahwa masukan kelompok masyarakat sipil tidak diakomodasi dalam pembahasan revisi UU ITE. Kendati publik dilibatkan dalam tahap revisi kedua UU ITE.
“Pelibatan publik dalam revisi kedua UU ITE ini muncul dalam bentuk-bentuk yang sifatnya prosedural, tapi secara substansi, masukan kelompok masyarakat sipil tidak diakomodasi,” ujar Peneliti Elsam, Parasurama Pamungkas kepada kontan.co.id di Jakarta, Senin (4/12).
Kata dia, ada beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Di antaranya pasal kesusilaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan berita bohong masih dipertahankan di pasal 27 ayat (1) mengenai kesusilaan, 27 A mengenai pencemaran nama baik, 28 (2) mengenai ujaran kebencian, 28 (3) mengenai berita bohong.
“Kendati pun ada perbaikan kecil, Pasal-pasal bermasalah di 27 dan 28 masih dipertahankan,” ujarnya.
Parasurama pun menyayangkan munculnya pasal-pasal baru yang justru mewakili suara industri. “Ini tidak nyambung dengan niatan awal merevisi UU ITE untuk menjinakkan pasal-pasal yang menenggelamkan ruang sipil,” jelasnya.
Adapun salah satu point krusial yang melibatkan publik adalah perluasan kewenangan penyidik PNS untuk memerintahkan penyelenggara sistem elektronik melakukan takedown.
“Ini keluar dari prinsip due process of law dan jauh dr pengawasan lembaga peradilan (judicial scrutiny),” ungkap dia.
Menurutnya, revisi itu berpotensi meningkatkan tren moderasi konten yang tidak proporsional.
“Dan mempermudah Kementerian Kominfo untuk melakukan sensor terhadap akun-akun media sosial yang baru diduga melanggar ketentuan,” pungkasnya.
Selengkapnya dapat dibaca pada Website Kontan.co pada pranala berikut