Pemerintah membentuk tim kajian dalam rangka mereformasi sejumlah pasal dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan tim ini bekerja selama dua bulan ke depan untuk mencari solusi atas sejumlah aturan di dalamnya, yang selama ini disebut sebagai pasal karet.
“Kalau putusan harus revisi, itu akan kita sampaikan ke DPR. Karena UU ITE ini ada di prolegnas, tahun 2024, sehingga bisa dilakukan… Kalau mau cepat, bisa dimasukkan ke dalam daftar kumulatif terbuka,” kata Mahfud MD dalam siaran pers kepada wartawan, Senin (22/02).
Mahfud MD menambahkan opsi lainnya adalah melalui pedoman yang mengatur secara teknis dalam sebuah penyelidikan dan penyidikan.
“Pemerintah di pemerintahan yang menganut demokrasi terpimpin akan membuka peluang diskusi itu untuk kemudian mengambil sikap,” lanjut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Selama tim kajian bekerja, Mahfud MD mengingatkan Kepolisian dan Kejaksaan untuk bekerja hati-hati dalam menangani kasus-kasus yang menggunakan UU ITE.
“Sembari menunggu 2-3 bulan, Polri, Kejaksaan Agung, penerapan itu agar betul-betul tidak multiintrepeter tidak multitafsir, tetapi orang merasa adil semua,” kata Mahfud MD yang kemudian menutup konferensi pers tanpa disertai tanya jawab.
Tim Kajian UU ITE ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menkopolhukam No. 22 tahun 2021. Dalam payung hukum ini, tim akan bekerja sampai 22 Mei 2021.
Tugas dari Tim Kajian adalah mengkaji agar tidak terjadi multitafsir dalam penggunaan pasal-pasal UU ITE.
Di dalamnya, Tim Kajian akan menyerap masukan dari penegak hukum dan masyarakat terkait dengan pelaksanaan UU ITE.
Tim juga dibolehkan untuk melibatkan akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban, pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media sebagai narasumber untuk mendapatkan berbagai masukan.
Ratusan orang dipenjara karena UU ITE
Hampir 700 orang dipenjara karena pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepanjang 2016-2020, menurut kajian lembaga reformasi hukum. Atas dasar itu, Presiden Jokowi dan DPR didesak mencabut semua pasal karet dalam UU ITE yang kerap kali menjadi ‘alat mengkriminalisasi’ ekspresi dan pendapat masyarakat.
“Ini hanya akan jadi basa-basi dan omong kosong kalau tidak melakukan pencabutan atau secara besar-besaran merombak ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang-undang ITE,” ujar Erasmus Napitupulu, direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada BBC News Indonesia, Selasa (16/02).
Pernyataan itu menanggapi klaim pemerintah Indonesia yang “akan mendiskusikan inisiatif revisi Undang-Undang ITE” menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dirinya bakal mendorong revisi undang-undang tersebut lantaran maraknya warga saling lapor dan kasus kriminalisasi.
Dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil.
Laporan perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.
Berdasar pemantauan yang dilakukan oleh LBH Pers, selama 2020 setidaknya terdapat 10 jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal – pasal dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Undang-undang ini pertama kali disahkan pada 2008 dan telah direvisi pada 2016 lalu. Kala itu, revisi undang-undang itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi.
Berikut yang perlu Anda ketahui tentang wacana revisi UU ITE yang kali ini diwacanakan oleh pemerintah.
Buka ruang revisi UU ITE bersama DPR
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah Indonesia membuka ruang untuk merevisi Undang-Undang ITE, jika implementasi beleid itu dirasa tak memenuhi rasa keadilan.
“Kalau undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, undang-undang ITE ini, karena di sinilah hulunya,” ujar Jokowi ketika memberikan pengarahan kepada pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara pada Senin (15/02) malam.
“Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, ia juga mengimbau kepolisian untuk lebih selektif dalam menerima pelaporan pelanggaran Undang-Undang ITE, menyusul makin banyak warga yang saling melaporkan ke kepolisian.
“Hati-hati, pasal-pasal yang bisa menimbulkan multi-tafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Penuh dengan kehati-hatian. Buat pedoman interpretasi resmi terkait undang-undang ITE, biar jelas,” kata Jokowi.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, menganggap penyataan Jokowi tersebut tak lepas dari pernyataannya sebelumnya yang meminta masyarakat mengkritik pemerintah jika dalam menjalankan tugasnya tidak memenuhi aspek layanan publik.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menegaskan imbauan agar kepolisian selektif untuk tidak mengkriminalisasi, semestinya berlaku bagi semua warga negara, bukan hanya pendukungnya saja.
“Karena yang kita hadapi saat ini adalah mudah untuk tidak dijerat UU ITE, pastikan Anda dukung pemerintah. Kalau Anda nggak dukung pemerintah, maka lebih mudah masuk penjara,” tegas Erasmus.
Sejumlah orang, baik warga dan tokoh ternama, telah menjadi korban pasal karet dalam UU ITE, antara lain: musisi Jerinx, aktivis Dandy Dwi Laksono, Buni Yani, hingga Baiq Nuril Maknun—seorang guru honorer asal Mataram, Lombok.
Selengkapnya dapat dibaca di Website BBC melalui pranala berikut