Revisi UU ITE

UU ITE Untuk Kejahatan Ekonomi Atau Politik?

Pada awal pembuatan RUU ITE, tujuan utamanya adalah mengamankan transaksi ekonomi dari kejahatan penggunaan teknologi informasi.  Namun, Ketika berjalan, UU ITE justru lebih dominan digunakan Pemerintah untuk tujuan politik dan lebih dominan kepada ulama dan tokoh-tokoh kritis.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE   masih menjerat sejumlah orang sepanjang tahun 2020. UU ITE kerap dianggap sebagai ‘pasal karet’ untuk membungkam para pihak yang kritis maupun berseberangan dengan pemerintah.

Berdasarkan data monitoring dan pengaduan yang dicatat Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sejak Januari hingga Oktober, ada 35 kasus pemidanaan menggunakan pasal-pasal dalam UU yang pertama kali disahkan pada 21 April 2008 itu.

Dari 35 kasus itu, pasal yang paling banyak digunakan adalah Pasal 28 ayat (2) sebanyak 14 kasus, Pasal 28 ayat (1) sebanyak 11 kasus, pasal gabungan sebanyak 6 kasus, dan Pasal 27 ayat (3) sebanyak 4 kasus.

CNNIndonesia.com, merangkum sejumlah kasus terkait UU ITE di 2020. Dari kasus yang dirangkum, beberapa di antara mereka yang terjerat berstatus tersangka hingga terpidana.

1. Said Didu

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu ke Bareskrim Polri.

Laporan tersebut dibuat kuasa hukum Luhut, Arief Patramijaya dan terdaftar dengan nomor LP/B/0187/IV/2020/Bareskrim tertanggal 8 April.

Polemik Said dan Luhut bermula melalui sebuah video yang diunggah Said di kanal YouTube pribadinya dengan judul “MSD: Luhut hanya pikirkan uang, uang, dan uang”.

Said dilaporkan dengan Pasal 45 ayat (3), Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Tidak hanya itu, Said Didu kembali dilaporkan ke Bareskrim Polri belum lama ini. Laporan terkait cuitannya yang diduga menghina Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Didu dilaporkan oleh Ketua Pimpinan Anak Cabang Ansor Jagakarsa Wawan atas nama pribadi ke Baresrim Polri. Laporan dilakukan karena Didu diduga melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 207 KUHP.

2. Ravio Patra

Peneliti kebijakan publik dan pegiat demokrasi, Ravio Patra ditangkap oleh aparat kepolisian pada 22 April lalu.

Kasubdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Dwiasi Wiyatputera mengatakan penangkapan Ravio berawal dari laporan tentang ajakan untuk melakukan penjarahan nasional pada 24 April 2020. Laporan itu tertuang dalam nomor laporan LP/473/IV/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ.

Ravio diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 huruf A ayat (2) UU ITE juncto Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 160 KUHP.

Setelah sempat ditahan, Ravio akhirnya dibebaskan. Saat itu Ravio berstatus saksi, meski sebelumnya sempat dinyatakan tersangka penyebaran ujaran kebencian oleh kepolisian.

3. Gus Nur

Sugi Nur Raharja atau yang lebih akrab dikenal Gus Nur ditangkap aparat kepolisian di kediamannya, Malang, pada Sabtu 24 Oktober dini hari. Selepas ditangkap Gus Nur ditetapkan tersangka ujaran kebencian dan penghinaan terhadap Nahdlatul Ulama (NU).

Penangkapan itu menindaklanjuti laporan Ketua Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Cirebon Aziz Hakim ke Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/0596/X/2020/Bareskrim tertanggal 21 Oktober 2020.

Gus Nur disangkakan telah melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan/atau Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.

Belum lama ini, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah merampungkan berkas penyidikan kasus yang menjerat Gus Nur.

Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan pihaknya telah melimpahkan barang bukti dan tersangka ke kejaksaan alias pelimpahan tahap II pada Rabu (23/12).

4. Jerinx

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis 1 tahun 2 bulan penjara kepada I Gede Ari Astina alias Jerinx dalam kasus ujaran kebencian ‘IDI Kacung WHO’ pada November lalu. Vonis hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yakni tiga tahun penjara.

Jerinx dinilai melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 54A ayat (2) UU ITE juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pusaran kasus Jerinx ini terjadi lantaran unggahan ‘Kacung WHO’ yang ia posting di instagram pribadinya (@jrxsid). Penabuh drum Superman is Dead (SID) itu mengunggah sebuah gambar tulisan pada akun instagramnya, pertengahan Juni lalu.

Tulisan dalam gambar itu berbunyi, “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tes-nya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab?’

Imbas unggahan tersebut, IDI Bali lantas melaporkan Jerinx kepada Polda Bali pada Selasa (16/6). IDI menilai unggahan Jerinx yang menyebut IDI dan Rumah Sakit adalah ‘Kacung WHO’ merupakan fitnah dan telah mencoreng nama IDI.

Selengkapnya dapat dibaca di Website Daily News Indonesia pada pranala berikut

https://www.dailynewsindonesia.com/news/hukum/uu-ite-untuk-kejahatan-ekonomi-atau-politik/

Artikel lainnya :
  • June 9, 2023

Perjalanan UU ITE yang Akhirnya Resmi Direvisi oleh Pemerintah

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 19...

  • February 14, 2023

Daftar Usul Pemerintah di UU ITE: 7 Poin Direvisi, 10 Pasal Dihapus

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengusulkan tujuh...

  • August 30, 2023

Revisi UU ITE Berjalan Alot di DPR

Pembahasan Perubahan Kedua UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi...